Jumat, 06 November 2015

makalah sumber daya alam Hutan Mangrove



MAKALAH
SUMBER DAYA ALAM
HUTAN MANGROVE
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Ekologi
Dosen Pengampu: Dr. Dewi Cahyani, M.Pd



Disusun Oleh:
Kelompok 2
1.      Lutpiyah
2.      Makhmudah
3.      Muhammad Qumaedi
4.      Meyca Prastica Sari
5.      Nia Ramadhania P

Biologi-B/5


JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI COREBON
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km, sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwista. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah mangrove?
2.      Bagaimana karakteristik hutan mangrove?
3.      Ada berapakah klasifikasi hutan mangrove?
4.      Adakah fauna khas penghuni hutan mangrove?
5.      Bagaimana pola interaksi yang terjadi di hutan mangrove?
6.      Apa fungsi hutan mangrove?
7.      Bagaimana hutan mangrove yang ada di Indonesia?
8.      Bagaimana upaya pelestarian hutan mangrove?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui mangrove
2.      Mengetahui karakteristik hutan mangrove
3.      Mengetahui klasifikasi hutan mangrove
4.      Mengetahui fauna khas hutan mangrove
5.      Mengetahui pola interaksi yang terjadi di hutan mangrove
6.      Mengetahui fungsi hutan mangrove
7.      Mengetahui hutan mangrove yang ada di indonesia
8.      Mengetahui upaya pelestarian hutan mangrove












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mangrove
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang–surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Nybakken (1988) mengatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis.
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Dengan demikian secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.  Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. 
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove. Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan bakau. Khusus untuk penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang sesuai untuk menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove. Di Indonesia, istilah bakau digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi mangrove, yaitu Rhizopora. Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis, sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya dihindari
B.     Karakteristik Hutan Mangrove
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda  (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut:
1.      Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang.
2.      Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri
3.      Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur.
4.      Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC. Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt.
5.      Arus laut tidak terlalu deras. Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat.
6.      Topografi pantai yang datar/landai.
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
1.      Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit
2.      Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora sp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia sp.
3.      Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,  khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
4.      Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. 
 Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:
1.      Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya    tergenang pada saat pasang pertama.
2.      Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
3.      Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 – 22 º /oo) hingga asin.


C.     Klasifikasi Hutan Mangrove
Soerianegara (1987)  dalam Noor et al.,  (1999) memberikan batasan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.
Hal tersebut senada dengan pendapat lainnya yang mengatakan bawa Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam 8 famili.  Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas.  Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove.  Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan dominan yang termasuk ke dalam empat famili:  Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2001).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda  (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
           Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni:
1.      Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2.      Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3.      Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.
Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
1.      Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
2.      Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase.
3.      Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.
4.      Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
5.      Pasokan dan aliran air tawar
Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi mangrove, yaitu:
1.      Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia  sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni  Rhizophora  sp  dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir.
2.      Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran  Rhizophora –  Bruguiera dan diakhiri komunitas murni N.  fructicans.
3.      Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.

D.    Fauna Khas Hutan Mangrove
Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung, memijah dan pembesaran bagi berbagai jenis binatang air seperti ikan dan udang. Hutan mangrove juga menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang darat, seperti burung air dan kalong. Bahkan banyak burung pengembara yang datang dari daratan atau daerah lainnya yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat persinggahan dan mencari makan.
Selain itu sebagai tempat hidup bagi satwa-satwa yang dilindungi. Jenis ikan yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi tempat berlindung adalah ikan kakap putih (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil sp.), udang windu (Panaeus monodon), udang putih (P. Merguensis atau P. indicus), udang galah atau udang satang (Macrobrachium rosenbergii), dan kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang tenang serta terlindung dengan berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan menyebabkan perairan hutan mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang biak bagi berbagai satwa
http://ffish.asia/photos/sp/331_Lates_calcarifer_CTU-P03376.jpg  http://region5.bfar.da.gov.ph/Pictures/bangusbig.jpg
               Lates calcarifer                                            Chanos chanos
http://www.discoverlife.org/IM/I_RR/0024/320/Mugil_cephalus,I_RR2473.jpg
Mugil sp.
            Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka batasan zonasi yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas (Kartawinata dkk., 1979). Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertikal dan secara horisontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang hidupnya menempel atau melekat pada akar, cabang maupun batang pohon mangrove, misalnya jenis Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus dan  Melongena galeodes  (Budiman dan Darnaedi, 1984; Soemodihardjo, 1977)
 http://www.gastropods.com/Shell_Images/N-O/Nerita_albicilla_4.jpg
                                Nerita albicilla                                  

            Sedangkan penyebaran secara horizontal biasanya ditemukan pada jenis fauna yang hidup pada substrat, baik itu yang tergolong infauna, yaitu fauna yang hidup dalam lubang atau dalam substrat, maupun yang tergolong epifauna, yaitu fauna yang hidup bebas di atas substrat. Distribusi fauna secara horisontal pada areal hutan mangrove yang sangat luas, biasanya memperlihatkan pola permintakatan jenis fauna yang dominan dan sejajar dengan garis pantai. Permintakatan yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan sifat ekologi yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. Kartawinata dan Soemodihardjo (1977) menyatakan bahwa permintakatan fauna hanya terlihat pada hutan mangrove sangat luas, tetapi tidak terlihat pada hutan mangrove yang ketebalannya sangat rendah.
Secara ekologis, jenis moluska penghuni mangrove memiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan mangrove, karena disamping sebagai pemangsa detritus, moluska juga berperan dalam merobek atau memperkecil serasah yang baru jatuh. Perilaku moluska jenis Telebraria palustris  dan beberapa moluska lainnya dalam memecah atau menghancurkan serasah man-grove untuk dimakan, namun disisi lain sangat besar artinya dalam mempercepat proses dekomposisi serasah yang dilakukan mikrorganime akan lebih cepat. Disamping membantu dalam proses dekomposisi, beberapa fauna kepiting juga  membantu dalam penyebaran seedling dengan  cara  menarik propagul kedalam lubang tempat persembunyiannya ataupun  pada tempat yang  berair.  Aktifitas kepiting ini dampaknya sangat baik dalam kaitannya dengan distribusi dan kontribusi pertumbuhan dari seedling mangrove dari jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp., terutama pada daerah yang sudah atau mulai terjadi konversi hutan mangrove.
Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat luas adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum. Sedangkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang sangat ekstrim adalah Littorina scabra, Crassostrea cacullata dan Enigmonia aenigmatica  (Budiman dan Darnaedi, 1984).                                               
Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak Gastropoda penghuni hutan mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia palustris dan Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia yang dikonsumsi masyarakat adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara antiquata  dan Ostrea cucullata
            Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem  hutan  mangrove umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat dikategorikan sebagai golongan  infauna,  sedangkan beberapa jenis udang (Macrura)  yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar hanya sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tempat menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama fauna Crustacea hutan mangrove (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977).   

http://www.crustacea.net/crustace/images/crab-4.gif
                                                            Brachyura
            Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai penghuni setia hutan mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat lubang dan mencari makan hanya disekitar sarang tersebut.
http://www.ku.ac.th/org/faculty/fis/inver.JPG
Thalassina anomala
Sedangkan pada hutan  mangrove bersubstrat lumpur agak pejal, umumnya didominasi Uca dusumeri.  Jenis lain yang muncul pada substrat  tersebut  adalah  Uca lactea, U. vocans, U. signatus  dan U. consobrinus. Diantara kepiting mangrove yang mempunyai nilai ekonomis dan dikonsumsi masyarakat adalah Scylla serrata, S. olivacea, Portunus pelagicus, Epixanthus dentatus  dan Labnanium politum.
http://www.wetland.org.tw/trip/class/crab/crab_name/7-a.jpg
                                                    Scylla serrata

E.     Pola Interaksi di Hutan Mangrove
Semua organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan  lingkungan hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu dengan lingkungannya sangat kompleks, bersifat saling mempengaruhi atau timbal balik. Hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan non hayati  membentuk sistem ekologi di dalam ekosistem. Di dalam ekosistem terjadi rantai makanan/ aliran energi dan siklus biogeokimia.
Rantai makanan dapat dikategorikan sebagai interaksi antar organisme dalam bentuk predasi. Rantai makanan merupakan proses pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui serangkaian jasad-jasad dengan cara makan-dimakan yang berulang kali . Terdapat tiga macam rantai pokok ,yaitu rantai pemangsa, rantai parasit dan rantai saprofit.
1.      Rantai Pemangsa
Landasan utamanya adalah tumbuhan hijau sebagai produsen. Rantai pemangsa dimulai dari hewan yang bersifat herbivore sebagai konsumen I, dilanjutkan dengan hewan karnivora yang memangsa herbivore sebagai konsumen ke 2 dan berakhir pada hewan pemangsa karnivora maupun herbivora sebagai konsumen ke-3.
2.      Rantai Parasit
Rantai parasit dimulai dari organisme besar hingga organisme yang hidup sebagai parasit. Contoh cacing, bakteri dan benalu.
3.      Rantai Saprofit
Dimulai dari organisme mati ke jasad pengurai. Misalnya jamur dan bakteri. Rantai tersebut tidak berdiri sendiri akan tetapi saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga membentuk jaring-jaring makanan.
Secara umum di perairan, terdapat 2 tipe rantai makanan yang terdiri dari : 
a.       Rantai Makanan Langsung




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJGrj1TziomBsu7z4PEBGk3yqGOF7ArNBM_DZBBkPTjWl1DC39pVeLz0QEgsOJnJ7FOx2YJkVdSivcCkahGCVbY4rz4lwXwdpfwq1JrvhtHxaD7DDVcK2RpK2swK8FoJJcjN1gNhKo0UE/s320/rantai-makanan-langsung.jpg
Rantai makanan langsung adalah peristiwa makan memakan dari mulai tingkatan trofik terendah yaitu fitoplankton mulai tingkatan trofik terendah  sampai ke tingkatan trofik tertinggi yaitu ikan karnivora berukuran besar, mamalia, burung dan reptil . Hal inidapat dilihat pada ilustrasi berikut :
Dari gambar diatas nampak bahwa rantai makanan langsung, bukanlah Sebuah proses ekologi  yang dominanterjadi di dalam ekosistem mangrove. Oleh karena spesies ikan yang terdapat dalam ekosistem mangrove, utamanya konsumer trofik tertinggi, kebanyakan adalah ikan pengunjung pada periode tertentu atau musim tertentu. Beberapa jenis ikan komersial mempunyai kaitan dengan mangrove seperti bandeng dan belanak. Klasifikasikan ikan yang terdapat dalam ekosistem mangrove pada 4 (empat) tipe ikan, yaitu :
                                                1)            Ikan penetap sejati
 Yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya  dijalankan di daerah hutan mangrove seperti ikan Gelodok (Periopthalmus sp).
                                                2)            Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung menggerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan Kuweh (Carangidae), dan ikan Kapasan, Lontong (Gerreidae).
                                                3)            Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan Kekemek, Gelama, Krot (Scianidae), ikan Barakuda / Alu-alu, Tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari familia Exocietidae serta Carangidae.
                                                4)            Ikan pengunjung musiman. Ikan-ikan yang termasuk dalam kelompok ini menggunakan hutan mangrove sebagai tempat asuhan atau untuk memijah serta tempat perlindungan musiman dari predator.

b.      Rantai Makanan Detritus ( Tidak Langsung )




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOa65D26d0pGj9Ec49ml8fUh5ABNQKDdDNESoR_6UQSTiHfOnhDInfEgpjvJX0AqbyqZjMdIl_203288ZF3Fh0puR7DBAIJPaxmJtVL0PFmyYqso5NkhlQkQcRH6OqvpWeoUTWAhtUrWA/s320/rantai-makanan-tidak-langsung.jpg

Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi.
Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuranluruhan dan ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan organik (detritus) ini kemudianmenjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya, nutrien di dalam ekosistem mangrove dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut
Bakteri dan fungi tadi dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata. Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi.

F.      Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut:
1.      Fungsi Fisik
Menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO2 dan penghasil O2 serta mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Irawan (2005) melaporkan bahwa keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil resiko akibat dampak tsunami di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Daerah-daerah yang memiliki front zonasi mangrove kerusakannya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki front hutan mangrove. Adanya perubahan lingkungan ekosistem wilayah pesisir laut secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem komunitas yang berada di dalamnya, termasuk terhadap keanekaragaman jenis dan struktur komunitas yang berada dalam ekosistem tersebut.
2.      Fungsi Biologis
Merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit malaria.
3.      Fungsi Sosial Ekonomi
Sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan dan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam dan areal perkebunan.
G.    Hutan Mangrove di Indonesia
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.  Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut.  Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.  Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae.  Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura.
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :
1        Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp).



http://www.visualphotos.com/photo/1x9114590/mangrove_avicennia_sp_swamp_florida_136163.jpg





Avicennia sp

2        Zona Bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp )
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQo22ZfeBhU5WRXFPGypvavlTJZSICrptFM_lVl3STIZvgVcYnC
Rhizophora mucronata.
3        Zona Tanjang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain
http://wiki.trin.org.au/pub/Mangroves/Bruguiera_parviflora/Bruguiera_parviflora_propagule.jpg
Bruguiera parviflora
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRSMmp1m54jiRF2gx71m3Tnx1FjsxJaYS6bIFwTPs66Di3q0rdp
Bruguiera sp
https://c1.staticflickr.com/7/6131/6029164670_acfbdeca43_z.jpg
Bruguiera cylindrica
4        Zona Nipah (Nypa fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.

http://www.vietnam-pictures.com/tour_to_vietnam/vietnam_photos_big/DSC_2929.jpg
Nypa fruticans
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km dimana sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (Onrizal, 2002). Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1995) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun. Data Wetlands International sebagaimana yang diungkapkan Drs. Pramudji, M.Sc. dalam orasi pengukuhan Profesor Risetnya 9 Desember lalu, memperlihatkan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 tinggal sekitar 1,5 juta ha.
Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan pada tahun 1999/2000 menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia adalah 9,2 juta ha, dan 5,3 juta ha di antaranya atau sekitar 57,6 % dari luas hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, dimana sebagian besar, yakni sekitar 69,8 % atau 3,7 juta ha terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2 % atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan. Sedangkan rehabilitasi hutan mangrove melalui pembangunan plot-plot percontohan penanaman mangrove yang sudah dilaksanakan oleh Ditjen RLPS sampai tahun 2001 hanya sekitar 21.130 ha.
Dalam penelitiannya, Pramudji membagi tingkat kerusakan mangrove itu ke dalam tiga kategori, yakni masih baik, sebagian rusak dan rusak berat. Kondisi terparah terdapat di pantai Utara Nangroe Aceh Darussalam, Teluk Lampung, Tanjung Pasir (Tangerang), Delta Mahakam (Kaltim), Lombok Barat dan teluk Saleh (NTB). Secara umum, kerusakan tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor antrogenik, faktor alami dan faktor biologis. Penyebab terbesar adalah faktor antrogenik di mana manusia menjadi pelaku utama perusakan itu. Eksploitasi hutan mangrove yang tidak terencana, adanya penebangan liar, pembukaan lahan mangrove untuk areal pertambakan, pertanian, penggaraman dan pemukiman, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap manfaat mangrove termasuk juga persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan mangrove sudah merupakan contoh konkrit bahwa manusialah sesungguhnya yang punya andil besar merusak ekosistem mangrove tersebut.
Konflik pemanfaatan lahan mangrove selalu menjadi bayang-bayang akan timbulnya degradasi baik fisik dan kwalitasnya. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang serius bagi banyak kalangan pemerhati lingkungan. Pengembangan tambak-tambak beberapa tahun belakangan dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang merusak karena pengembangannya didahului dengan penebangan mangrove sehingga ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya mengalami gangguan. Sedangkan faktor alam yang menyebabkan rusaknya mangrove antara lain seperti: banjir, kekeringan, hama penyakit, tsunami, dan kebakaran yang merupakan faktor penyebab relatif kecil (Tirtakusumah, 1994 dalam Rahmawaty, 2006).


H.    Upaya Pelestarian Hutan Mangrove
Pada dasarnya hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan. Pengelolaan tambak memang menjanjikan hasil yang menggiurkan tetapi sangat perlu dilihat kesinambungan dan kelestarian lingkungan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kondisi ini memerlukan suatu strategi yang jelas dan nyata untuk dapat mempertahankan dan mengelola secara baik dan utuh hutan mangrove. Untuk itu perlu dikaji pendayagunaan potensi hutan mangrove, sebagai salah satu bagian dari ekosistem pesisir, secara berkelanjutan berbasis masyarakat.
Upaya menjaga kelestarian hutan mangrove dapat dilakukan melalui teknik silvofishery dan pendekatan bottom up dalam upaya rehabilitasi. Silvofishery merupakan teknik pertambakan ikan dan udang yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan dalam hal ini adalah vegetasi hutan mangrove. Usaha ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove sehingga terjaga kelangsungan hidupnya.
Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Selain itu, pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya.
Selama ini pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi pada beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas (pemerintah). Seperti suatu kebiasan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down.
Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek, yaitu saat dana telah habis, tentu saja pelaksana proyek tersebut merasa sudah habis pula tangung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan, mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek.
Karena pendekatan top down kurang memberdayakan masyarakat maka diterapkanlah pendekatan secara bottom up yang merupakan suatu teknik dalam rehabilitasi hutan mangrove yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Seyogyanya upaya pemulihan hutan mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian semua proses rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat sehingga masyarakat merasa memiliki dan akan selalu turut menjaga kelestarian hutan mangrove.
Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan jangka panjang. Pendekatan bottom up akan menumbuhkan partisipasi masyarakat juga sekaligus merupakan proses pendidikan bagi masyarakat.
Selain itu juga kondisi hutan mangrove yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam.
Ada beberapa hal penting lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan  mangrove, yaitu:
a.       Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
b.      Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.
Seperti kita ketahui bersama, tambak tradisional yang telah dikembangkan selama berabad-abad silam tidak terlalu menjadi hal yang merisaukan dari segi lingkungan karena menggunakan vegetasi mangrove sebagai bagian dari sistem. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang patut dijadikan orientasi dalam pelestarian hutan mangrove. Untuk pengembangan teknologi yang berorientasi pada tradisi masyarakat perlu kiranya dilakukan penelitian-penelitian seputar kawasan hutan mangrove yang melibatkan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya peran aktif para peneliti baik dari civitas akademika maupun dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta. Selain itu peran serta pemerintah sebagai fasilitator sangat diharapkan sehingga akan memperlancar terlaksananya berbagai riset yang berhubungan dengan upaya pelestarian hutan mangrove. 
Peraturan-peraturan daerah mengenai perlindungan kawasan hutan mangrove merupakan hal yang penting sebagai pengontrol kegiatan masyarakat di kawasan tersebut untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di kota Tarakan yang mengatur fungsi dan peran hutan mangrove, hak dan tanggung jawab masyarakat,  larangan, pengawasan serta sanksi bagi perusak ekosistem hutan mangrove.
Menurut Khazali (2005), struktur sosial dan bentuk pemanfaatan serta intensitas interaksi wilayah pesisir oleh masyarakat perlu diketahui dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove agar kelompok target masyarakat yang terlibat, baik prioritas maupun bukan prioritas dapat ditentukan. Biasanya kelompok target prioritas adalah tokoh masyarakat, petambak, nelayan dan lain-lain. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove dan rencana penanaman yang akan dilaksanakan penting diketahui untuk memantau persepsi masyarakat terhadap mangrove. Jika persepsi masyarakat negatif atau tidak mendukung terhadap rencana kegiatan penanaman vegetasi mangrove, maka pertama kali yang harus dilaksanakan adalah membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove dan pentingnya manfaat penanaman bagi mereka melalui pendidikan dan penyuluhan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membangun kesadaran masyarakat antara lain:
1.      Diskusi bersama masyarakat untuk memahami kondisi pantai saat ini dan sebelumnya.
2.      Mengidentifikasi dan menyadari bersama dampak hilang/rusaknya hutan mangrove.
3.      Menentukan dan menyepakati bersama solusi mengatasi masalah akibat hilang/rusaknya hutan mangrove.
4.      Sosialisasi peraturan-peraturan yang berlaku tentang hutan mangrove.
5.      Studi banding untuk menyakini dan memperluas wawasan tentang manfaat hutan mangrove, perencanaan dan pelaksanaan bersama penanaman mangrove, serta pembentukan kelompok masyarakat pengelola dan pelestari hutan mangrove. 
Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah R I telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan  pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kea rah daratan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:
                              1)            Penanaman kembali mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
                              2)            Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
                              3)            Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
                              4)            Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
                              5)            Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
                              6)            Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
                              7)            Program komunikasi konservasi hutan mangrove
                              8)            Penegakan hukum
                              9)            Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini. 




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah di paparkan dapat diketahui mengenai Hutan mangrove adalah sebagai berikut:
1.      Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
2.      Fungsi biologis Merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit malaria.
3.      Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat luas adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum. Sedangkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan.
4.      Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuranluruhan dan ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan organik (detritus) ini kemudianmenjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya.
5.      Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di kota Tarakan yang mengatur fungsi dan peran hutan mangrove, hak dan tanggung jawab masyarakat,  larangan, pengawasan serta sanksi bagi perusak ekosistem hutan mangrove.

B.     Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam proses pembelajaran, dan apabila ada kekurangan dari penulisan serta isi makalah ini kami mohon maaf atas tidak kesempurnaanny. Terima kasih

DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2001.  Pedoman Teknis Pengenalan  dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia
Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen Kehutanan. 2004.  Statistik Kehutanan Indonesia,  Frorestry Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Eddy, Syaiful. 2008. Pengelolaan Potensi Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan. Palembang . Jurusan Biologi FMIPA Universitas PGRI Palembang.  
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia  Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995.  Litter Production of  Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6  Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta
Khazali, M. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor. (Online), (http://www.pmdmahakam.org, diakses 20 Mei 2010).
Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M.Eidman. Jakarta: Gramedia.
Onrizal. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, 20 Mei 2010).
Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, diakses 20 Mei 2010).
Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan tinjanan komunitas mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.
Soerianegara, I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove. Pros. Sem.  III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press.  Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney: p. 413.
Walhi. 2006. Degradasi Hutan Bakau dan Akibatnya (Online), http://www.walhi.or.id, diakses 20 Mei 2010).
Anonim. 2012. Ciri dan karakteristik ekosistem. http://vitanurmala.blogspot.com/2012/05/ciri-dan-karakteritik-ekosistem.html diakses tanggal 01 desember 2014 pukul 12.50 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar